Melaka: Kota 3 Bangsa

Malaka, Melaka, atau Melacca terserah bagaimana anda menyebut kota kecil tua nan cantik ini. Kota yang terletak beberapa jam dari Johor Baru (JB) ini menyimpan keunikan tersendiri. Tidak dibutuhkan waktu lama untuk mengeksplor keindahan kota ini, tetapi kalau anda benar-benar ingin menjelajahi kota Malaka, sediakan setidaknya dua hari untuk menikmati keindahan kota ini sampai puas.

Stadthuys di pagi hari


Setelah melewati perbatasan Singapura dan Malaysia, dari terminal Johor Bahru kita bisa membeli tiket bus dengan tujuan Melaka, di sini terdapat beberapa bus yang menawarkan tujuan tersebut, dan rata-rata harga yang ditawarkan sama. Jam perjalanan pun sudah ditentukan dan dipasang di depan loket untuk memudahkan penumpang mencari bus yang sesuai. Di terminal di Malaysia pun ada banyak calo bus, tetapi mereka tidak memaksa, dan kita hanya perlu segera menuju loket-loket bus yang tersedia.


Makci yang aslinya adalah orang Surabaya :D


Saya menemukan loket bus atau kaunter dalam bahasa Melayu (Malaysia) yang menjadwalkan keberangkatan bus ke Melaka pada 3pm atau pukul 15:00. Lumayan ada jeda waktu untuk ke toilet dan meregangkan kaki. Setelah saya sedikit mengobrol dengan makci atau ibu-ibu si penjual tiket, ternyata dia adalah arek Suroboyo yang sekarang sudah tinggal di Malaysia.

Bus ini yang akan membawa saya ke pusat kota Melaka.

Perjalanan dari terminal JB ke Melaka memakan waktu sekitar dua jam, sudah hampir petang saat kita sampai di Melaka Sentral dan harus menyambung dengan bus lokal Panorama Melaka untuk menuju ke pusat kota. Bus-bus di terminal ini sudah ditentukan peron-nya masing-masing sesuai dengan tujuannya, jadi kita tidak perlu bingung saat menunggu bus yang akan membawa kita.

A night in Melacca

Beruntung saya datang ke Melaka saat akhir pekan, karena biasanya akan ada night market atau pasar malam yang menjual berbagai macam barang dan makanan di sepanjang jalur utamanya. Lumayan untuk mengisi perut kosong, saya membeli sepiring mie goreng atau sejenis kwetiau yang dicapur dengan tauge seharga 5 ringgit untuk satu porsi. Kebanyakan di tempat ini dijual berbagai kerajinan yang biasa digunakan sebagai pajangan. Pasar malam ini sudah mulai rame sejak sore hari, saat pertama saya tiba di area Stadthuys, dan sudah mulai sepi setelah pukul sepuluh malam. Saya hanya butuh berjalan sekitar lima menit dari hostel untuk menuju ke area ini, karena memang sepertinya pada hari biasa, jalanan yang digunakan untuk pasar malam ini adalah jalanan utama yang mengarah langsung ke pusat kota.





Kerajinan tangan yamg kreatif, hanya dibuat dari kawat-kawat yang dibengkokkan


Malamnya Melaka terlihat sangat ramai dan cantik dengan hiasan lampu kuning yang menerangi sudut-sudut jalannya, memberikan kesan anggun pada bangunan-bangunan tua yang ada di
sekitarnya.

pemandangan malam sungai di Malaka yang cantik.

salah satu monumen yang menggambarkan kejayaan laut Maaka zaman dulu


Morning call, Melaka!

Saya tidak punya waktu banyak di kota cantik ini, siang harinya saya harus sudah di Melaka Sentral untuk melanjutkan perjalanan ke Kuala Lumpur.

sudut kota Malaka

bangunan tua yang berderet rapi


si guest house Hello Kitty!

Jam tujuh pagi saya keluar dari hostel dan berjalan menyusuri jalanan Melaka yang diapit deretan bangunan tua. Baru beberapa menit berjalan saya menemukan sebuah bangunan yang disulap menjadi hostel atau guest house bertema Hello Kitty. Unik. Sayangnya di Melaka tidak seperti di Jakarta yang di pagi hari sudah banyak dijumpai penjual nasi uduk atau lontong sayur. Kebanyakan tempat-tempat di sini masih tutup, mungkin karena semalam ada night market jadi toko buka lebih larut dari biasanya dan buka lebih siang di pagi harinya. Selain itu saya menemukan klenteng tua (yang pasti bangunan ini bergaya Tionghoa) yang tak kalah cantik, Tokong Cheng Hoon Teng atau Cheng Hoon Teng Temple ini sudah dibangun pada tahun 1673 atau mulai saat bangsa Tionghoa pertama kali masuk ke Melaka. Bangunan Tionghoa biasanya menonjolkan detail dan juga warna nya yang mencolok, biasanya menggunakan warna merah dan kuning.


dibangun sejak tahun 1673

Saya lanjutkan berjalan menuju tujuan utama kami, yaitu Stadthuys atau pusat dari kota Melaka. Ada dua bangunan ikonik berwarna merah di tempat ini. Yaitu, Christchurch dan Stadthuys itu sendiri yang sudah dibangun pada masa Portugis datang ke kota ini. Malaka sendiri sejak tahun 2008 masuk dalam daftar UNESCO World Heritage Site karena sejarah panjangnya dan bertahan dari era pendudukan Portugis, Belanda dan juga Inggris yang sempat menguasai.

Victoria Regina, dibangunn sebagai monumen untuk Ratu Victoria

Dari pusat kota Malaka saya melanjutkan berjalan ke arah kincir air Kesultanan Malaka yang sangat besar, yang disebut juga sebagai Giant Windmill. Entah apakah kincir air yang terletak di salah satu bagian sungai Melaka ini masih berfungsi atau tidak, kemungkinan sih hanya dijadikan sebagai salah satu monumen di kota ini.



Melaka juga memiliki dataran tinggi lho, di bagian tertinggi dari pusat kota Malaka ini terdapat bangunan tua, St Paul's Church, yang dibangun pada tahun 1521. Diperlukan sedikit tenaga ekstra untuk menapaki anak tangga untuk menuju ke atas. Tetapi kita tidak akan menyesal dengan pemandangan yang kita dapat setelah kita berada di atas. Bekas bangunan gereja ini terlihat sangat unik dengan bagian atap yang sudah hilang, namun kita masih dapat menemukan beberapa prasasti batu nisan peninggalan dari zaman Portugis. Sayangnya saya tidak dapat mengabadikan bangunan gereja cantik ini karena baterai di kamera saya sudah tidak cukup daya.

Famosa. 1511


Melaka terlihat sangat terawat dan juga bersih, pagi-pagi sekali sudah ada petugas kebersihan yang membersihkan area ini, tidak hanya disapu, tetapi juga disemprot dengan air berkekuatan besar. Mungkin memebersihkan dari kotoran sisa-sisa dari malam yang lalu. Bangunan-bangunan tua di wilayah ini juga masih terawat dengan baik, sangat pas untuk saya yang memang dapat menikmati dan memandangi bangunan tua berlama-lama sembari mengabadikannya dalam kamera saku saya.

Gereja  dari bangsa Portugis, bangunan buatan Belanda, sampai monumen yang dibuat pada masa pendudukan Inggris masih berdiri kokoh di sini. Meskipun memiliki perbedaan dengan budayanya yang sekarang, masyarakatnya saat ini yang mayoritas adalah bangsa Melayu dan Tionghoa, yang juga membawa budayanya masing-masing, dapat bersinergi dengan baik dan memberikan keanekaragaman tersendiri bagi kota tua ini. Pantas saja apabila kota ini masuk dalam situs warisan dunia UNESCO.

Waktu terasa kurang untuk saya ketika mengunjungi kota ini, semoga suatu saat saya dapat kembali lagi...



Comments